Sabtu, 27 Juli 2013

Senin, 15 Juli 2013

Perkembangan Metodologi Tafsir



 Membumikan Al-Quran


Bagian 6

 

 oleh Dr. M. Quraish Shihab



Perkembangan Metodologi Tafsir

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.42

Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era globalisasi dan informasi.

Corak dan Metodologi Tafsir

 

1. Corak Ma'tsur (Riwayat)

 

Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.43

Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba' at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.

Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,44 maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.

Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.

Keistimewaannya, antara lain, adalah:

(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.

Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.

Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.

Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).45 Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa "Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya".46

Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi),47 masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.

Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat.

Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y.

2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya

 

a. Metode Tahliliy

Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu'iy.48 Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan kategorisasinya.

Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,49 adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf."

Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.50

Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum shadiqin".

Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.51 Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.

Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.

b. Metode Mawdhu'iy

"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") -- konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.

Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tafsir dalam Era Globalisasi

 

Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.

Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.

Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia --termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.

Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam --akidah, syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.

Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?

Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.

Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.

Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain.

1. Asbab Al-Nuzul

 

Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.

Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushush al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).

Di sini perlu kiranya dipertanyakan: "Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:

Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.

Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.

Para penganut paham al-'ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu, tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.52 Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/ bersamaan dengan turunnya ayat"?

Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha' kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat."53

Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq far'i bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.54

Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.

2. Ta'wil

 

Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.

Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.

Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.

Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah".55 Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks keagamaan.

Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:

Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.

Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.

Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.

Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56 Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada."57

Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.

Catatan kaki

 

 

42 Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 77.
43 Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h. 18.
44 Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142.
45 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H, Jilid 1, h. 8.
46 Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984, h. 62.
47 Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai generasi terbaik."
48 Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy, Al-Hadharah AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23.
49 Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut, 1980, h. 10.
50 Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t., h. 58.
51 Muhammad Baqir Al-Shadr, op.cit., h. 12.
52 Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III, 1980 Jilid I h. 125.
53 Yusuf Kamil, Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah, Mesir, 1985, h. 22.
54 Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal, Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90.
55 Prof. Dr. Muhammad Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma' Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92.
56 Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95.
57 Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.

Rabu, 10 Juli 2013

Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir



Membumikan Al-Quran

Bagian 5

 


oleh Dr. M. Quraish Shihab

Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir

Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.24 Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)",25 dan bahwa "kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri."26

Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).

Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",27 atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".28

Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw. bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",29 penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah.30 Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".31 Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.

Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".32 Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.


Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran

 

Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran.

Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.

Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut.


Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran

 

 

Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.

Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.33

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).

Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).34 Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.

Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi saw.35

Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" (QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.36

Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."37 Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.

Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:

(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.

Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.

(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.


Perubahan Sosial

 

 

Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS 48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan lain-lain).

Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.39


Perkembangan Ilmu Pengetahuan

 

 

Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya.40 Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa ini.

Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima.

Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.

Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.


Bidang Bahasa

 

 

Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal.41
Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran.

Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.

Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.

Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya.

Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.

Catatan kaki

 

24 Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.
25 Ibid., h. 15.
26 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II, h. 35.
27 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t. jilid I, h. 29.
28 Ibid., h. 321.
29 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
30 Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi.
31 Ibid.
32 Al-Zahabiy, op.cit. h. 53.
33 Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid II, h. 164.
34 Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3.
35 Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59.
36 Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20.
37 Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139.
38 Ibid., h. 26.
39 Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.
40 Ibid., hal. 82.
41 Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1984, h. 28.

Blog Hidup Untuk Tafakur

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terimakasih para pembaca yang Budiman atas kunjungannya di Blog Hidup Untuk Tafakur ini.

Posting tulisan ini merupakan tulisan original dan bukan merupakan hasil Copy Paste dari Blog , Website atau sumber manapun dengan tujuan untuk memberikan alternative lain dalam mempelajari Agama agar kita bisa menemukan Sang Maha Pencipta dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap helaan nafas sampai hembusannya yang terakhir.

Kecuali untuk Kategori Buku, IPTEK dan Pengetahuan Umum.

Mari kita hilangkan segala bentuk perbedaan dengan kembali kepada Al-Qur'an sebagai sumber rujukan.

Bila berkenan, silahkan memberikan komentar, saran dan kritik membangun, juga dipersilahkan untuk menyebarkan dan membagikan tulisan ini secara Gratis.

Dan bagi yang mau copy paste tulisan ini, mohon untuk mencantumkan sumbernya.

Mari kita berbagi Ilmu yang Bermanfaat untuk mendapatkan Rida dan Rahmat dari-Nya.

Wassalam
Penulis
Juhdi Mulyadi

Laman

Sumber Inspirasi Penulis



Belajar Memahami Hidup dengan Metode Tafakur dan Tadzakur.

S U R A T I B R A H I M

14:52. (Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

S U R A T A L - I M R O N

3:18. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

S U R A T Y U N U S

10:24. Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.

S U R A T A L - B A Q A R A H

2:164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

S U R A T A L - I M R O N

3:191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

S U R A T A R - R A ' D U

13:3. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

S U R A T A R - R U U M

30:8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.


S U R A T A L - A ' R A F

7:146. Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.

7:179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.