Membumikan Al-Quran
Bagian 4
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal
pokok:
Pertama, tujuan.
- Akidah
atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala
sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain,
Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama
dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
- Budi
pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam
bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang,
tanggung jawab, dan lain-lain.
- Hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam
sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh
Al-Quran melalui empat cara:
- Menganjurkan
manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang,
udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya
tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan
keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan
memakmurkan bumi di mana ia hidup.
- Menceritakan
peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa
lalu.
- Membangkitkan
rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk
mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti
hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan
oleh Al-Quran).
- Janji dan
ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan
kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di
akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh
Al-Quran seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai
butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis
besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok:
- Susunan
redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
- Ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
- Ramalan-ramalan
yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang
dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa
Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara
tentang filsafat dalam segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban
yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya:
memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan
Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut,
terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan
ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai
bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai "proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan
tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di
samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa
ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi
manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau
metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan
oleh para filosof --Muslim atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau
klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial,
maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan
Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
- Ilmu abadi
(perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam
Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
- Ilmu yang
dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang
dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan
pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari'ah sebagai
sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan
ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh
komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau
kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini,
satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara
ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu
meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami
mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan
eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi
(antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada
realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya
tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh
firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa
yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu
melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan
merupakan satu realitas, tapi tidak ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak
boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah
wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang
mereka gunakan, yang justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat
jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang
dapat terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS
17:85). Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu
menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau
tidak-- telah diakui dan dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang
diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan
terbatas pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain
dalam pengertian science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam
raya (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan
ketika berbicara tentang kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain
menganjurkan untuk mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan
akal untuk memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan
para ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti
antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik
alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara
lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan
diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti
kebenaran Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan
wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan
tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang
merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam
menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama. Dan
dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun, harus
berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing manusia ke arah
pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep
tentang "tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah penerapan.
Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan
benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan
bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan
dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan
kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh
wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini
berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau
nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu pada
saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim Mahmud, Syaikh
Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus
dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya.
Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke
seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di
atas, disamping menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah
intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi
bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk
dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya dan
ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur yang
menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan
kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat menyatakan tanpa ragu
bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan-- usaha-usaha
pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat untuk manusia serta
memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran,
"menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan kesukaran"
(QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan sedikit kesulitan pun untuk
kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa segala produk perkembangan ilmu diakui
dan dibenarkan oleh Al-Quran selama dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu
tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan
pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia
itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan
seorang pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang
memperoleh secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah
terdengar suara-suara yang menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan
sains dengan nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu
permusyawaratan ilmiah tentang "cultural relations for the future"
(hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang
"reconstituting the human community" yang kesimpulannya, antara lain,
sebagai berikut: "Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan
kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah
diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak
negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat
ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi
spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal
yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari
ajaran Al-Quran menyangkut kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk
perkembangan ilmu pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk
dibahas dalam masalah Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan
ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu
pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai
disiplin yang diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat
Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada
masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
seperti:
- Teori
tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
- Matahari
adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya
matahari (QS 10:5).
- Pergerakan
bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang berasal dari
perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS
27:88).
- Zat hijau
daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi matahari
menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan
energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar al-akhdhar (pohon
yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena
zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian
pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
- Bahwa manusia
diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah fertilisasi
(pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah
kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an,
Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang
bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap
percaya dan iman", oleh Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja
karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan
karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan
pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena
Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau
bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan
menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah
Perkembangan Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana
perkembangannya? Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat sebelum
permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat
merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu
pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan,
prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran
filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh
dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan
teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan
yang mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat)
maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau, dengan kata lain,
objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan logika, estetika,
etika, politik dan metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat
tersebut, maka pembahasan kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang
umum". Itu pun hanya dalam masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir
dewasa ini dan yang merupakan penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni
"manusia". Karena, memang, dewasa ini orang tidak banyak lagi
berbicara tentang bukti wujud Tuhan atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut
pertentangan agama dengan aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan
adalah "manusia" karena pandangan tentang hakikat manusia akan
memberikan arah dari seluruh sikap dan memberikan penafsiran terhadap semua
gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai
salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya,
pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi
tempat manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini
digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia,
tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini,
bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu lembaran
baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan krisis
lainnya.
Disusul kemudian dengan teori evolusi yang
dikemukakan oleh Darwin.
Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan masa
sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang
mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit (abnormal) dan yang
pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah "makhluk
bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh libido,
sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari Oedipus complex dan, dengan
demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri
dan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk
lebih jauh menolak kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula
kekaguman yang berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai
spiritual keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu
terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai disebut-sebut
walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains dipermasalahkan.
Eksistensialisme
mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus dituju, pergilah
ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala
sesuatu. Mari kita berpegang erat-erat pada kebebasan kita. Sosialisme telah
merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada negara. Agama juga mengembalikan
segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama
juga menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia
--demi mengalihkan manusia dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di
langit, dan --untuk memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran
ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada
baiknya kita mengutip pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika,
kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku
kenamaannya, Man the Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang
makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang
telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk
yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara
utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya
dengan alam sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia
hingga kini masih tetap tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak
terbatas dalam diri (batin) kita yang tidak diketahui".
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan
karena keterlambatan pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan
kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen,
sehingga tidaklah berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan
bahwa setiap orang dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan
di tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya
dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari
pencipta Yang Maha Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia
adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia?
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia
adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu
Pertama (QS 96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya tentang
kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS 30:43). Ia diberi
kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya
masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran moral untuk memilih mana
yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan nurani mereka atas bimbingan wahyu
(QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan
dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah
diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga yang
mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan
sangat banyak membantah (QS 22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran
bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi
untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga
tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan
dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan
kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan "tanah" manusia
dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh
makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan "Ruh" ia
diantar ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak bersubstansi dan
yang tak dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka
untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan
sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna,
tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42). Hai
manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan menuju
Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia
akan berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang
dimensinya melebar keluar melampaui dimensi "tanah", dimensi material
itu.
Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk
yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia
diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas,
Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia
dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan
dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13).
Antara lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan
kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam
panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya
telah menjelaskan pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan
dirinya, tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh
Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju
Tuhan Yang Mahaesa.
Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut
ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung
sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan
tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua
kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat
menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah
wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai
kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu
Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan
beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum
dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam,
seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang
merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan
sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in,
khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh
tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin
Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu
berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di
Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu
penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa
ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan
berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari
sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar
sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di
tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada
masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran
berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah
bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan
lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi
peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga
bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti
dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan
yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang
lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda
lihat."
21
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair
kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan
arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai
pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat
selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal."
22
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini
antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang
non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab
sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada
mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang
ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain
ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa
hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau
tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran
ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami
ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau
hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih,
yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf,
akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. (f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M),
corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada
corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah
didengar.
Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah
perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula
ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga
periode: Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in,
di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar
secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada
masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis
bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti
bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah
Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab
Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga
dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani
Al-Qur'an.
Metode Tafsir
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat
pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap
mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain.
Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan
Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini
dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan
kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam
Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya
masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan
Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh
dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya
Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat,
walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral
yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut
menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide
yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan
ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang
terdapat dalam satu surat
tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum
menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk
menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan
dalam berbagai surat.
Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang
satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan
menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh
Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada
hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
23
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua
pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya,
serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga
satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari
segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap
pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).
Catatan kaki
21
'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960, h. 111.
22
Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed
Arkoun, "Algeria,"
dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana
University Press, 1988, h. 182-183.
23
Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya
penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad
Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah
dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan
menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar