Membumikan Al-Quran
Bagian 5
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi
Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun,
memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain,
susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai
faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap
redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara
pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan
keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun,
yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.
24
Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "
penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)",
25
dan bahwa "
kepastian arti satu kosakata atau
ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya
tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri."
26
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk
menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk
bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh
bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran
menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang
tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya
mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu
kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan
penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan
firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan
dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang
hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari
masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh
masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub
'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",
27
atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan
untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".
28
Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw.
bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran
beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah
al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",
29
penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan
yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah
berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah.
30
Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa
pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau
menafsirkan QS 14:27. Di sana
beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".
31
Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah
sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa
penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang
kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh
generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw.
sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".
32
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat
Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan
kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebebasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang
memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap
mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan
bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan
masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami
Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan
turunnya Al-Quran.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran
seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh
disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh
kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran
seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.
Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan
perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang,
walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah
konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran
tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah
timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana
pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan
pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka
dalam kehidupan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap
orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran
atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang
ilmu tersebut.
Pembatasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat
sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam
memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini
telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang
sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan
bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara
umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang
tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak
diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah.
33
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis
pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b)
menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat
Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila
beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa
kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin
dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan
sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat
Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang
mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam
'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).
34
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai
dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah
an sich,
dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal
manusia.
Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat
tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang
untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya
berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau
oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini
hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi
saw.
35
Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim
Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat
"neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" (QS 74:29) untuk
dinisbatkan kepada Rasul saw.
36
Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang
ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak
menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia,
tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran."
Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal
perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam
menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari
itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas
dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya
kepada Allah SWT atas dasar keimanan."
37
Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas,
dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh
oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang
aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
38
Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran
yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok
dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam
berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah
turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang
menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di
atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu
digarisbawahi:
(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau
berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian
tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli
tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir
semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya
Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya,
tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di
atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan
pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak
dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.
(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan
dalam penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau
kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab
al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan
terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya
ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu
untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas,
yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran,
masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran,
khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan bahasa.
Perubahan Sosial
Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara
tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah
masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS 48:29), juga bahwa
setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain),
dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap
(hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan atau
perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh
potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat
Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah
ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus
diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah
tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih
dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.
39
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa
"syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman
masyarakat pada masa turunnya.
40
Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran
berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada
masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa
ini.
Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima,
apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua
manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua
orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap
orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara
lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini,
pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran amat sulit diterima.
Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran
ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu
pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka
mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan
untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang
dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini
terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan
kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah
ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika
eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi
dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang
dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata
"apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi
menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat,
jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah
Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat "Allah
mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila
yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran
seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan
yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak
berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat
dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila
membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang
belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini
akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami
oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti
bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran
menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya,
namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan
pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini
menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik
yang mereka kenal.
41
Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini
telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga
digunakan oleh Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa
pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus
memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan
ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata,
dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang
dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk
menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.
Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian
khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani
tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang
mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari
sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan)
menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara
lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan
bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai
kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan
alasannya.
Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan
arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan
dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa
mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya
ia kemudian terbukti keliru.
Catatan kaki
24
Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.
26
Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II,
h. 35.
27
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.
jilid I, h. 29.
29
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
30
Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi.
32
Al-Zahabiy, op.cit. h. 53.
33
Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir,
1957, jilid II, h. 164.
34
Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3.
35
Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59.
36
Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20.
37
Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139.
39
Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.
41
Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit
Mizan, Bandung, 1984, h. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar