Membumikan Al-Quran
Bagian 2
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Bukti Kebenaran Al-Quran
Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di
antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran
tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang
siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan
(baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam
Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga,
menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS
10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih
kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).
Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan
mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).
Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang
sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia
memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat
yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini
dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."
Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi
Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat
manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa
juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan,
berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh
makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun
membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang
menuju air kehidupan itu.
Dalam syari'at ditemukan sekian banyak
rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula
yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya,
yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama
dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai
ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan
dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah"
atau larangan-larangan agama.
Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan
lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan
lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini,
siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang
sangat jauh itu?
Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara
lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat
terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas
menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya
akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru,
karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.
Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah
"Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit
kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas.
"Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya
itu dinamai "agama".
Sayang bahwa tidak semua manusia dapat
berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya.
Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan
kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka
yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.
Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak
mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu.
Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi
yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.
Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul
diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan
hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan
pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai
"mukjizat".
Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki
mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan
karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas
berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat
manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.
Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan
karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin
bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal,
kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di
sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.
Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang
dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa
seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari
Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi,
bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan
menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang
relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir,
Persia atau
Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai
menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang
tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa
mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."
Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis
pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai
berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak
mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan
memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui
"perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua
hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama
ini.
Seperti diketahui, seringkali Al-Quran
"turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari
peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini
dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi
peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi
teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan
analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal
yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi
antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang
bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li
Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak
contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat
singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah
(hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-naf'
(manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har
(panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah
(kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing
13 kali;
- Al-rahbah
(cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-kufr
(kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17
kali;
- Kufr
(kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf
(musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan
sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts
dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb
dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun
dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an,
al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan
al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-jahr
dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq
(infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl
(kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun
(orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran),
masing-masing 154 kali;
- Al-zakah
(zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing
32 kali;
- Al-fahisyah
(kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan kata penyebabnya.
- Al-israf
(pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah
(nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra
(tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-salam
(kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E. Di samping keseimbangan-keseimbangan
tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk
tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata
hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah
keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas
kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada
"tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni
dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12,
Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang
terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan,
baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira),
atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini
seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita
tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang
kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.
Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya.
Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada
ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan
diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak
seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200
tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli
purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari
data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan
yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908,
Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad
utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum
Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta
peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin
dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.
Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah
isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa
"Cahaya matahari bersumber dari dirinya
sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)"
(perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria,
sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan
"ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya
belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali
menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah
benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan
petunjuk-petunjuknya.
Kebenaran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil
yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan
penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia,
keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil.
(QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan
ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama
sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali
menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang
terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak
sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara
lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan
apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka
yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran
teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang
lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula
dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau
bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi
yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan
ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang
bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain,
meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan
pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum
dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)
8
mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang
diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi
"hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj
Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu
pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan
menuju tercapainya masalah tersebut."
9
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan
ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi
bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang
mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi
juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu
pengetahuan itu.
10
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika
mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari
suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan
tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada
akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal
ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang
disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran
dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang
menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah
berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya
menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua
atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:46).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim
baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal
yang dapat menghalangi kemajuannya.
Sistem Penalaran menurut
Al-Quran
Salah satu faktor terpenting yang dapat
menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan
kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga
fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang
mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada
pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai
ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak
terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila
tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya
jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide
didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri,
tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya
(materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama
dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang
Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran),
adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim
cepat-cepat meninggalkan medan
pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan
oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap
nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum
mencapai tingkat kedewasaannya.
Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang
dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya
terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia
telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu
berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia
pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran
kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham,
tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan
"istifham taubikhi istinkariy"
11
yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya
sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk
lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang
lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga
melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan
dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu
pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai
Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak
mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa
besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat.
Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl
Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka
mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS
3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka
yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi
ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang
kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian
menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun,
Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad
menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa
Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut,
Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting
daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan,
para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang
menjadi korban hasil penemuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan
petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat
dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya
untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa
mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat
untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga
mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau
dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok
Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan.
Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu
pengetahuan.
Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science)
yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak
mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam
misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah
silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi
terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu,
misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah
kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep
tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi
dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat
perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya,
tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan
persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin
Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu
kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of
statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum
aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian
dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak
sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah
--terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan
kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena
sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan
pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya,
menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan
bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada
suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya
Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera,
dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu
bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan
tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa
saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan
spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti;
begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang
dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada
bumi."
12
Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya
menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan
jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab
dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala
undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya
melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek
dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat
pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa
yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya
hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu
pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat
Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau
belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh
Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran
Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat
kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian
juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat
berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa
yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan
peredarannya mengelilingi matahari.
Perkembangan Tafsir
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh
yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti
mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat
berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya
kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa
abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku
berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam
Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila
ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun.
Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai
tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran
sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar,
Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama
berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia
memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan
bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq;
juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain
sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan
menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau
pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan
tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan
Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak
sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini
mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan
pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan
hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab
tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian
penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di
antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab
yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara
riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas
yang sangat sempit.
Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah
kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya
saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara
keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya
membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti
Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy
dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa)
seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat
seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang
hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir
Al-Jalalain.
Agaknya benar juga pandangan sementara pakar,
bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah
ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli
terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."
Penafsiran ilmiah
atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama
berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari
penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak
menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat
dan logika disinggung dengan sangat luas.
Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis:
"Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara
luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata:
'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."
13
Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah
penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru.
Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya
tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah.
Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja
berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit,
kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan
dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.
Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata
memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami
oleh berbiliun-biliun galaksi.
Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh
berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut
merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat
tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah
Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam
Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran,
berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.
Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan
sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat
Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak
sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles
Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab
Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I)
sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya
dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan
pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan
dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah
sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides.
Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau
menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan
penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim
yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran
seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah,
sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).
Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana
apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun
ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut
teori Darwin
dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai
sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di
permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for
life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan
yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan
teori Darwin,
tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud
Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai
berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari
diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran
argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya
berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian
asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan
penafsiran-penafsiran lainnya."
14
Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha
dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori
tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari
dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran.
Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu
orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman
sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan
keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan
ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan
persoalan agama sedikit pun."
15
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan
teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori
cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau
menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau
sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk
menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat
guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu:
Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini
menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan
mereka (QS 6:108).
Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka,
karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT.
Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan
suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak
membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara
mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang
menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum
ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman
Allah SWT:
Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga
tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami
ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS
21:30).
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya
merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh
Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini
yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk
mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut
menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang
pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya
mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal
bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah
menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat
menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari,
atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap
orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia
tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan
memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia
menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan
ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali
bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.
Catatan kaki
8
Jumlah yang populer dan luas dipegang adalah 6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini
tidak diketahui dasarnya. Terdapat juga pandangan lain. Perbedaan jumlah ini
disebabkan oleh perbedaan cara menghitung basmalah di setiap awal surat sebagai ayat
tersendiri. Juga ayat seperti Alif lam mim, dan lain-lain.
9
Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30.
11
Pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya.
12
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo
Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15.
13
Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Dar Al-Fikr, Kairo 1979, Jilid I, h. 13.
14
Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar
Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171.
15
Al-Manar, Sya'ban 1327/September 1909.