Rabu, 19 Juni 2013

Zakat

Dasar Penghitungan Zakat 


Artikel diambil dari Sumber :

http://www.dsniamanah.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=173:dasar-penghitungan-zakat&catid=65:fiqih-zakat&Itemid=166

 

A. Rumusan Harta Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya


Para fuqoha mengklasifikasikan harta wajib zakat ditinjau dari berbagai sudut pandang, yang paling populer dikalangan fuqoha adalah klasifikasi berdasarkan klasifikasinya; zakat emas dan perak, zakat hasil pertanian, zakat binatang ternak, zakat perdagangan dan zakat harta galian termasuk pertambangan. Dalam perkembangannya ulama kontemporer menambahkan beberapa katagori seperti zakat madu dan produk hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat investasi harta tidak bergerak, zakat pendapatan rutin dari hasil profesi dan zakat saham serta obligasi.(Dr Yusuf Qordhowy, 1969)
Sebagian ulama kontemporer mengklasifikasikan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dengan pendekatan aspek liquidas kekayaan yaitu pada dua katagori; Harta yang tetap, tidak bergerak, seperti hasil yang dihasilkan dari tanah pertanian dan harta yang bergerak, seperti ternak, emas, perak dan uang. Untuk katagori yang pertama zakat dikeluarkan dari hasilnya saja tidak memasukkan unsur asalnya, hasil pertanian misalnya zakat hanya dikenakan atas hasilnya tidak memasukkan unsur asalnya yaitu nilai tanah, demikian halnya dengan harta hasil galian. Sementara katagori kedua zakat dikenakan atas hasil dan harta asalnya, seperti pertambahan emas atau uang maka zakatnya atas emas atau uang secara keseluruhan, demikian halnya dengan zakat perniagaan dikenakan atas modal dan hasilnya. Penjelasan rinci akan hal tersebut akan dibahas kemudian.
Klasifikasi diatas  dipandang dari sisi potensi zakat. Sedangkan dari sisi tarifnya Rasulullah saw menentukan untuk harta yang tidak bergerak zakatnya sebesar 5% sampai 20% dari hasil yang dihasilkan, sedangkan untuk harta yang bergerak Rasulullah saw menetapkan tarip 2.5 % dari seluruh asset yang dimiliki.

Dengan demikian para ulama kotemporer mencoba untuk menentukan standar yang dapat digunakan untuk mengkalsifikasikan harta kekayaan, maka harta kekayaan dapat dikatagorikan pada asset bergerak atau harta bergerak; ialah asset atau kekayaan yang dapat dipindahkan  atau dibawa, seperti uang, perdagangan, atau ternak. Sementara asset tidak bergerak  adalah yang tidak mungkin untuk dipindahkan tanpa merubah bentuk, seperti tanah, bangunan ataupun pepohonan, dalam hal ini zakat hasil pertanian dan hasil galian dikatagorikan zakat dari harta yang tidak bergerak dengan mempertimbangkan unsur asalnya yaitu tanah meskipun pada hakikatnya hasil pertanian dan hasil galian atau rikaz merupakan barang yang dapat dipindahkan.

Para fuqoha mengelompokkan harta “perdagangan” pada u`rudh tijarah (komoditi yang akan diperjual belikan) dikatagorikan sebagai asset bergerak dan “u`rudh qoniyyah” (komoditas yang berkaitan dengan perdagangannya tapi tidak diniatkan untuk diperjualbelikan) pada harta yang tidak bergerak. Hal tersebut karena:
  1. Harta perdagangan adalah harta yang dipersiapkan untuk diperdagangkan dan disimpan sebagai inventory perdagangan
  2. Sementara Qoniyyah ialah barang dagangan yang tidak dipersiapkan untuk diperdagangkan dan  tidak untuk disimpan sebagai inventory perdagangan.
Qoniyyah adalah merupakan “barang tersimpan” yang pada asalnya tidak diniatkan untuk diperdagangkan kemudian berubah menjadi barang dagangan. Maka para fuqoha ketika membedakan antara harta perniagaan dengan qoniyyah, mereka mengikuti dua prinsip;
  1. Didasarkan pada, asumsi apakah barang yang dijual tersebut pada mulanya diniatkan sebagai barang dagangan atau bukan?
  1. Didasarkan pada asumsi apakah tersimpannya barang tersebut menunggu terjual dengan mendapatkan keuntungan atau untuk disimpan tanpa ada tujuan untuk dijual, tapi ternyata dikemudian hari dijual?  Jika barang tersebut memang diniatkan dan dibelinya untuk dijual kembali maka hal tersebut termasuk kategori “urudh tijaroh” harta perdagangan, sedangkan apabila hal tersesebut pada awalnya bukan untuk dijual dan tidak ada niat untuk dijual belikan tapi kemudian barang tersebut dijual, hal tersebut diistilahkan oleh ulama sebagai “Al qoniyyah” (Qorodhowy, 1969,)

Rumusan Tarif  Zakat

Tarif zakat harta bergerak berkisar dari 1.25 % sampai 2.5%. Sementara tarif zakat untuk harta yang tidak bergerak berkisar antara 5%, 10% sampai 20% sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya. Tapi pada umumnya tarif zakat atas uang dan perdagangan adalah 2,5 % dihitung dari keseluruhan asset sedangkan pada pertanian dan hasil manfaat kebiasaannya 10%. Apabila dilakukan suatu perhitungan bahwa nilai zakat dengan tarif 2,5 % dari asset akan sama dengan nilai zakat 10% dari hasil netto apabila pemilik asset tersebut meraih keuntungan 33,5 % dari assetnya. Misalnya nilai asset sebesar $ 1000, apabila nilai keuntungannya sebesar 33,5 % maka nilai assetnya adalah  $ 1333 dan nilai zakatnya adalah 2,5 % X $ 1333 = 33,3, dan nisbah nilai zakat atas nilai keuntungan adalah 33,3 : 333 X 100 = 0,1 atau 10% Sedangkan nilai asset netto minus zakat adalah 1300. Hal tersebut sesuai dengan pendapat para fuqoha yang membolehkan pengambilan keuntungan sebesar sepertiga  dari modal ( Dr Abdu Samii` Al Mishry, Attijarah Fil Islam, menuqil dari Ihya Ulumuddin Imam Al Ghazaly, Dr Kamal A`thiyyah An Nadhariyyah Al Muhasabiyyah fi al Fikr Al Islamy, vol 3 Muhasabah Az Zakah )


B.   Nishab Zakat

Hitungan Nishab dalam Konteks Sekarang
Diantara Syarat diwajibkannya zakat adalah nishab zakat, yaitu sampainya nilai harta pada kadar tertentu yang telah ditentukan, dan apabila harta tersebut belum mencapai batas tadi maka tidak ada kewajiban zakat baginya, sebagaimana sabda Rasulullah saw : Tidak ada zakat kecuali bagi orang yang benar-benar kaya.
1. Nishab Zakat Pertanian
Dari Jabir, dari Rasulullah SAW “… Tidak wajib bayar zakat pada kurma yang kurang dari 5 awsuq” (HR Muslim). Dari hadist ini dijelaskan bahwa nishab zakat pertanian adalah 5 awsuq.”  Awsuq jamak dari wasaq.
Dr Yusuf Qaradhawi dalam kitab Fikih Zakat mengungkapkan dengan rinci mengenai hitungan ini dan kesimpulannya adalah; 1 wasaq = 60 sha’, sedangkan 1 sha’ = 2,176 kg, maka 5 wasaq adalah  5 x 60 x 2,176 = 652,8 kg . [1]
Dalam menentukan ukuran wasaq para ulama sepakat bahwa satu wasaq adalah 60 sha’ sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama terdahulu seperti Al Jauhary dalam Shihhahnya, Yahya Ibnu Adam dan Abu Yusuf dalam khoroj Abu Suja' dalam Iqna' dan yang lainnya. [2] Tapi yang jadi akar perbedaan pendapat mengenai ukuran satu wasaq adalah ketika menetukan berapa ukuran satu sho'.
Dr Ahmad Duraiwisy menjelaskan dengan rinci yang kesimpulannya adalah ada dua pendapat mengenai ukuran sha’ pendapat pertama adalah pendapat Abu Yusuf, dari Madzhab Hanafi, juga pendapat Madzhab Maliky, Syafii' dan Hambaly, yang mengatakan bahwa satu sha’ Rasulullah SAW adalah setara dengan empat mud dan satu mud setara dengan 1,33 (satu sepertiga) liter Baghdady, maka satu sha’ setara dengan lima sepertiga liter Baghdady.
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad Bin Hasan yang mengatakan satu mud sama dengan dua liter sehingga ukuran satu sha’ menurut Abu Hanifah adalah delapan liter Baghdady.[3] Inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam ukuran wasaq dalam satuan kilo gram.  Dan pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat diantara pendapat-pendapat lainnya mengenai nishab, demikian diungkapkan Qaradhawi.
1. Nishab Emas
Dr Qaradhawi menjelaskan dengan panjang lebar mengenai nishab emas sebagaimana riwayat-riwayat yang ada bahwa nishab emas adalah 20 dinar atau mitsqol dan dalam kajiannya Qaradhawi menyimpulkan berdasarkan data-data ilmiah bahwa 1 dinar = 4,25 gram, maka nishab emas adalah : 20 X 4,25 gram = 85 gram.  Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham, dan 1 dirham = 2,975  gram, maka nishab perak adalah 200 X 2,975 gram =  595 gram.[4] Dr Subhy Sholih menambahkan bahwa ukuran mitqol dan dinar adalah ukuran yang tetap baik di zaman jahiliyah maupun di masa Islam dan mungkin dapat kita jadikan sebagai ukuran standar.
Para arkeolog menemukan uang peninggalan masa pertengahan Islam dan mendapatkan bahwa uang dinar peninggalan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (th 80 H) timbangannya adalah 4,25 gram. Oleh sebab itu selama ukuran mitsqol sama dengan dinar maka sekitar itulah timbangannya.[5]
Kebanyakan ulama kontemporer menggunakan standar emas sebagai pedoman zakat uang karena relatif stabil dibanding dengan perak. Sidang Mu’tamar Kajian Islam di Cairo telah memutuskan bahwa nishab untuk uang yaitu senilai dengan 85 gram emas, dan hal tersebut berlaku untuk zakat perdagangan, perusahaan, saham dan harta investasi yang diambil manfaatnya dan penghasilan profesi.[6] Demikian halnya fatwa Majlis Ulama Indonesia yang menjadikan standar emas senilai 85 gram emas untuk zakat penghasilan.
Adapun nishab binatang `ternak sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk kambing 40 ekor, sapi 30 ekor dan unta 5 ekor selanjutnya mengikuti jadwal yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW

Zakat Penghasilan

Zakat penghasilan ialah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan kita atau pendapatan yang didapatkan dari hasil kerja kita, Para ulama kontemporer dalam menentukan tarif zakat profesi juga berbeda, pendapat yang masyhur adalah pendapat Muhammad Abu Zahrah, Abdurahman Hasan, Abdul Wahhab Khollaf, Yusuf Qaradhawi, Syauqy Shahatah dan yang lainnya sepakat bahwa tarif zakat penghasilan profesi adalah 2,5 %.
Dalam hal ini Qaradhawi menegaskan ”Adapun penghsilan yang didapatkan dari pekerjaan seperti penghasilan para pegawai atau orang yang memiliki profesi tertentu maka zakat yang wajib dikeluarkannya adalah 2,5% saja, hal tersebut berdasarkan pada keumuman nash yang mewajibkan zakat uang 2,5%. Tidak dibedakan apakah penghasilan itu didapatkan sebagai maal mustafad yang didapatkan seketika setelah selesai pekerjaan atau yang mengikuti kaidah haul (seperti gaji atau upah prinsipnya adalah gaji tahunan tetapi karena kebutuhan di-split perbulan). Selain itu juga berdasarkan prinsip Islam bahwa jerih payah menentukan ukuran kewajiban. Terakhir adalah berdasarkan pada apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita seperti Ibnu Mas’ud, Muawiyah dalam kasus pemotongan zakat atas gaji para pegawai dan apa yang juga dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz. Maka dalam hal ini menganalogikan penghasilan kerja dan profesi pada al u’thiyyah lebih dekat dibanding menganalogikan pada hasil pertanian.
Adapun dalam kasus kontemporer menganalogikan hasil manfaat seperti penyewaan rumah dan semisalnya pada pertanian memang tepat karena dia hanya mengambil manfaat dari aset yang tetap miliknya dengan demikian tarifnya adalah antara 5-10 %. Dengan dasar tersebut sesuai dengan kaidah jerih payah menentukan kadar kewajiban, maka jerih payah pekerja dibanding orang yang memiliki asset yang disewakan lebih besar, oleh sebab itu berimplikasi pada tarif, sehingga pekerja tarifnya lebih rendah dibanding dengan orang yang hanya mendapatkan hasil dari pemanfaatan asset.[7]
Pendapat lainnya adalah sebagaimana yang diungkapkan di atas adalah dengan menganalogikan pada hasil pertanian maka zakatnya adalah 5%. [8] Di antaranya adalah pendapat Dr Muhammad Said Abdus Salam dalam bukunya ”Al Muhasabah Fil Islam” (Akuntansi dalam Islam).[9]
Senada dengan pendapat di atas Muhammad Ahmad Jaadu juga berpendapat bahwa zakat atas penghasilan profesi adalah 5% - 10% dan kemudian beliau merinci hal tersebut ;
Telah dikemukakan sebelumnya pada sesi terdahulu kesimpulan penulis bahwa nilai zakat penghasilan, upah dan profesi sama senilai kewajiban zakat pertanian dan buah-buahan. Dan telah ditetapkan kalau nilai zakat pertanian berkisar antara 5%, 10% sebagaimana dijelaskan hadits Rasulullah SAW. dan ditempuh para sahabat, tabi'in serta para ahli fikih.
Dan para ahli fikih telah menjelaskan mengenai nilai zakat dengan terperinci, di mana mereka menyimpulkan bahwa hikmah adanya perbedaan nilai zakat dalam zakat pertanian dan buah-buahan antara 5-10%. Hal itu kembali kepada tingkat perbedaan kerja keras dalam mengairi tanamannya, dengan asumsi bahwa unsur pengairan merupakan unsur primer dalam kehidupan tanaman. Terkadang air bisa didapatkan dengan mudah tanpa harus bekerja keras. Seperti pengairan lewat hujan, sungai atau mata air. Maka kewajiban zakatnya sebesar 10% dari hasil pertanian dan buah-buahan. Adapun kalau pengairannya dengan menyemprotkan sendiri, maka nilainya 5% disebabkan besarnya kerja keras yang diupayakannya dalam proses pengairan itu.
Salah seorang ulama muslim kontemporer menyimpulkan bahwa apabila pertanian dan buah-buahan itu diairi dengan hujan dan sekaligus dengan menyemprot sendiri, atau satu saat menyemprot sendiri dan di waktu yang lain dengan air hujan, maka nilai zakatnya di sini menggunakan nilai pertengahan antara 5% dan 10% yaitu sebesar 7,5%. [10]
Dalam hal ini, penyusun al Mughni [11]mengatakan, "Apabila ia mengairi tanaman dengan kerja keras selama setengah tahun dan setengah tahun lagi tanpa kerja keras -yaitu dengan menyemprot sendiri dan air hujan- maka zakatnya 7,5%. Ibnu Qudamah mengatakan, "Kami tidak tahu ada pertentangan padanya, karena setiap salah seorang darinya apabila ia mendapatkan (hujan) di sepanjang tahun maka ia harus menunaikan kewajibannya dan apabila ia mendapatkan setengah tahun, maka yang wajib adalah setengahnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis dengan berpegang pada kaidah-kaidah sebelumnya mengenai batasan nilai zakat pertanian dan buah-buahan mengusulkan volume nilai zakat penghasilan, upah dan profesi seperti berikut ini :
1. Kelompok pekerja yang dibebani kewajiban zakat sebesar 10%  yaitu kelompok yang tidak mengeluarkan kerja keras yang besar dalam mendapatkan penghasilan, upah dan imbalan profesinya.
2. Kelompok yang dibebani kewajiban zakat sebesar 7,5%, yaitu kelompok yang menengah kerja kerasnya dalam mendapatkan penghasilan, upah dan gajinya. Atau tengah-tengah antara kerja otot dan kerja otak.
3. Kelompok yang dibebani kewajiban zakat 5%, yaitu kelompok yang kerja ototnya lebih dominan dari pada kerja otak. [12]
Dari berbagai pendapat di atas, pendapat ketiga perlu mendapatkan perhatian kajian yang lebih mendalam, karena kajian tersebut adalah berdasarkan kajian analistis perbandingan antara pajak penghasilan dengan zakat penghasilan menurut konsep pajak dan konsep Islam, sehingga menghasilkan ijtihad seperti di atas.
Sedangkan pendapat pertama yaitu pendapat kebanyakan ulama kontemporer seperti  Dr Muhammad Abu Zahrah, Dr Abdul Wahhab Khollaf, Dr Yusuf Qaradhawi,  Dr Syauqy Syahatah, Husain Syahatah, Dr Abu Sattar Abu Ghodah, Dr Yusuf kamal, Dr Muhammad Kamal A’thiyyah dan beberapa ulama lainnya adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer dan telah disepakati oleh Al Haiah Asy Syari’yyah Al A’lamiyyah liz zakah”  (Badan Syariah zakat internasional).[13] Juga merupakan fatwa Majlis Ulama Indonesia dalam keputusan fatwanya no 3 tahun 2003.
Meskipun telah ada Fatwa Majlis Ulama Indonesia mengenai ketentuan nishab namun untuk kasus Indonesia ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishab dan kadar zakat profesi, yaitu :
  1. Menganalogikan secara mutlak kedua kategori di atas dengan hasil pertanian, baik nishab maupun kadar zakatnya. Dengan demikian, nishab-nya adalah senilai dengan hasil pertanian yaitu 653 kg gabah, tarifnya 5%, dan dikeluarkan setiap menerima hasil tersebut.
  2. Menganalogikan secara mutlak kedua kategori di atas dengan zakat emas. Nishab-nya 85 gram emas. Kadar zakatnya 2,5% dan dikeluarkan setiap menerima atau penghitungannya diakumulasikan dibayar di akhir tahun. Sebagaimana fatwa Majlis Ulama Indonesia.
  3. Menganalogikan nishab zakat upah kerja/gaji dengan nishab zakat hasil pertanian. Nishab-nya senilai 653 kg gabah dan dikonversi ke dalam makanan pokok, yaitu beras dengan penyusutan 20% dari gabah. Dari penyusutan ini diperkirakan hasilnya menjadi 520 kg beras. Sedangkan, kadar zakatnya dianalogikan dengan emas yakni 2,5%. (Sebagaimana hasil kajian Dewan Syariah Dompet Dhuafa).
  4. Sama dengan pendapat ketiga yaitu menganalogikan nishab zakat upah kerja dengan nishab zakat hasil pertanian yaitu senilai 653 kg beras bukan gabah dengan tidak mengkonversi dari gabah keberas dengan penyusutan 20% dengan alasan bahwa dalam riwayatnya hasil pertanian mencakup gandum dan kurma dengan takaran yang sama sedangkan kurma adalah makanan yang siap dimakan, dengan alasan tersebut maka batasan nishab adalah 653 kg beras bukan gabah karena dibandingkan gabah beras lebih mudah prosesnya untuk dikonsumsi. (diantara kajian PKS - Pusat Konsultasi Syariah)
Pendapat ketiga dan keempat adalah berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
  1. Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian). Dalam hal ini, maka harta ini dapat di-qiyas-kan ke dalam zakat pertanian berdasarkan nishab 653 kg gabah atau beras dan waktu pengeluaran zakatnya (setiap kali panen).
  2. Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang. Oleh sebab itu, untuk harta ini dapat di-qiyas-kan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan kadar zakat yang harus dibayarkan (2,5 %). Dengan demikian, hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Model penganalogian tersebut tidak asing di kalangan ulama salaf, seperti saat para ulama menganalogikan hamba sahaya. Di satu sisi, hamba sahaya dianalogikan dengan hewan untuk menetapkan boleh/tidaknya mereka diperjualbelikan. Namun di sisi lain, hamba sahaya dianalogikan dengan manusia mukallaf ketika mereka harus malaksanakan beberapa taklif, seperti shalat dan puasa.
Dalam hal ini pendapat keempat  yang kami ambil sebagai pegangan perhitungan. Ini berdasarkan pertimbangan maslahah bagi muzakki dan mustahik. Maslahah bagi mustahik adalah apabila dianalogikan dengan pertanian, baik nishab dan kadarnya. hal ini akan memberatkan muzakki karena tarifnya adalah 5%, tapi maslahat untuk mustahik. Sementara itu, jika dianalogikan dengan emas, baik kadar dan nishab-nya, maka hal ini akan mengurangi maslahah bagi mustahik karena tingginya nishab akan semakin mengurangi jumlah orang yang sampai pada nishab. Oleh sebab itu, pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memperhatikan maslahah kedua belah pihak (muzakki dan mustahik). Sedangkan pendapat keempat adalah pendapat yang lebih maslahah untuk muzakki dan mustahik. Di bawah ini simulasi dari keempat pendapat yang ada :
No
Nishab
Tarif
Simulasi Penghasilan
Zakatnya
1 Pertanian 5% 653 x  Rp 1.500 = Rp  979.500 Rp 979.500 x 5% = Rp 48.975
2 Emas 2.5% 85 x Rp 150.000 = Rp 12.750.000 / 12 = Rp 1.062.500 Rp 1.062.500 x 2.5 %=Rp 26.562.5
3 Pertanian konversi 2.5% 520 x Rp 4000 = Rp 2.080.000 Rp 208.000 x 2.5 % = Rp 52.000
4 Pertanian siap saji 2.5% 653x Rp 4000 = Rp 2.612.000 Rp 261.200 x 2.5% = Rp 65.300

Asumsi :
Harga gabah Rp 1.500, harga emas Rp 150.000, harga beras Rp 4.000.
Dari  tabel simulasi di atas bisa kita dapatkan bahwa nilai nishab bagi pendapat pertama adalah Rp 979.500 dengan nilai zakat yang harus dikeluarkan Rp 48.975, dan pendapat kedua nilai nishab Rp 1.062.500 dengan nilai zakat Rp 26.562.5, pendapat ketiga nishab Rp 2.080.000 dengan nilai zakat Rp 52.000 dan pendapat terakhir nishabnya Rp 2.612.000 dengan nilai zakat Rp 65.300.
Apabila kita buat perbandingan simulasi dengan nilai penghasilan misalnya Rp 5.000.000 maka nilai zakatnya adalah : Pendapat pertama Rp 250.000, sedangkan untuk pendapat kedua, ketiga dan keempat Rp 125.000. Ini menunjukkan bahwa hanya pendapat pertama yang mencolok perbedaannya karena tarif yang 5% sedangkan pendapat lainnya sama  yaitu 2,5% yang membedakan adalah hanya batas minimumnya saja.
Dengan simulasi ukuran nishab dan tarif diatas kita bisa simpulkan bahwa dalam perekonomian Indonesia yang tidak stabil ini maka pihak badan atau lembaga zakat atau lembaga yang memiliki kewenangan fatwa mengeluarkan standar nishab dengan indeks harga resmi yang berlaku baik indeks harga emas yang akan dijadikan standar untuk nishab bagi yang menggunakan standar emas, atau indeks harga gabah atau beras untuk menentukan nishab bagi yang menjadikan gabah atau beras sebagai standar

Zakat Profesi dari Netto atau Bruto ?
Masalah yang menjadi perdebatan pada praktek penunaian zakat adalah masalah "apakah zakat ditunaikan dari penghasilan netto (bersih) atau brutto (kotor) ? dan kalau netto apa yang dapat mengurangi?. Masalah ini nampaknya menjadi masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Dalam bahasa fikihnya apakah ada hal-hal yang dapat menjadi pengurang harta wajib zakat, dengan bahasa fikihnya adalah "al fadhlu a'n alhawaaijul ashliyyah" atau "Az ziyadah a'la al haajah al ashliyyah" (kelebihan dari stándar kebutuhan hidup). Syarat ini sebenarnya tidak lepas dalam pembahasan nishab, bukan masalah yang berdiri sendiri demikian para ulama menyimpulkan, misalnya ulama Hanafiyah dalam kebanyakan rujukannya menyebutkan bahwa di antara syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah apabila harta tersebut mencapai nishab setelah dikurangi kebutuhan hidupnya dengan alasan bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang memiliki harta dan subtansinya adalah karunia yang diberikan menjadi penyebab  kondisi diri yang baik.[14] Mereka juga berpendapat "Orang yang sibuk untuk memenuhi kebutuhan stándar hidupnya dianggap orang yang tidak memiliki apapun." Ibnu Malik menambahkan "Siapa yang memiliki "darahim" uang dan mencapai nishab dengan niat akan dibelanjakan untuk kebutuhan hidupnya, maka dia tidak diwajibkan zakat meskipun telah sampai haul".Tapi Ibnu Najim membantah pendapat tersebut dengan pendapatnya "Zakat diwajibkan atas dasar pendapatan baik diniatkan untuk dibelanjakan ataupun untuk diinvestasikan". [15]
Atas dasar pemikiran di atas, maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa zakat ditunaikan setelah dikurangi kebutuhan hidup standar, atau kebutuhan hidup yang pokok meliputi sandang, pangan dan papan, oleh sebab itu persyaratan yang diungkapkan oleh para ulama adalah kebutuhan pokok bukan kebutuhan secara umum.
Dalam hal ini Dr Yusuf Qaradhawi mengomentari, "Perlu digarisbawahi bahwa kebutuhan di sini adalah kebutuhan pokok (al haajah al ashliyyah) karena kalau kebutuhan tidak dibatasi dengan kebutuhan pokok sesungguhnya kebutuhan manusia sangatlah banyak bahkan mungkin tidak ada habisnya, apalagi di era sekarang ini yang seantiasa membutuhkan kebutuhan-kebutuhan pelengkap yang juga dianggap sebagai kebutuhan prinsip. Oleh sebab itu, tidak setiap kebutuhan yang diinginkan dianggap sebagai kebutuhan pokok, karena seandainya anak Adam ini diberi dua lembah yang berisi emas pasti akan meminta yang ketiga. Akan tetapi yang dimaksud dengan kebutuhan pokok di sini adalah kebutuhan yang tanpanya manusia sulit  mempertahankan eksistensinya, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan perumahannya sebagaimana juga kebutuhan konsumsi intelektualnya dan penunjang profesinya."[16]
Dr Yusuf Qaradhawi menjelaskan argumentasi para ulama mengapa zakat secara umum ditunaikan dengan syarat dikurangi kebutuhan pokok?
Pertama, beliau mengungkapkan dalil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dalam takhrij-nya " إِنَّمَا الصَّدَقَةُ عَنْ ظَهْرِ غِنَي " yang artinya "Shodaqoh itu (zakat) hanya dibebankan kepada orang yang memiliki kecukupan harta". Dalam riwayat lain disebutkan " لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ غِنَي " Tidak ada shadaqah (zakat) kecuali dibebankan kepada orang yang memiliki kecukupan harta".
Imam Bukhori dalam shahihnya meriwayatkan dengan mua'llaq (tanpa menyebutkan sanad) dalam kitab Al Washoya dan menjadikan lafadz riwayat di atas sebagai salah satu judul dalam kitab zakat, beliau berkata dalam bab " لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ غِنَي وَمَنْ تَصَدَّقَ وَهُوَ مُحْتَاجٌ، أَوْ أَهْلُهُ مُحْتاَجُوْنَ ، أَوْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ، اَلدَّيْنُ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى مِنَ الصَّدَقَةِ  "
Artinya, "Tidak ada shadaqah (zakat) kecuali dibebankan kepada orang yang memiliki kecukupan harta, orang yang berzakat akan tetapi dia butuh, atau keluarganya membutuhkan, atau dia punya hutang, dan hutang harus lebih diutamakan untuk ditunaikan dibanding zakat." Al hafidz
Ibnu Hajar dalam menjelaskan judul ini mengomentari seolah-olah Imam Bukhori bermaksud menjelaskan hadits di atas bahwa syarat muzakki adalah dirinya tidak dalam keadaan membutuhkan atau keluarga yang wajib dinafkahinya. [17]
Dalil berikutnya adalah firman Allah Taa'la : يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ اْلعَفْوُ . "Mereka bertanya apa yang harus diinfakkan (zakat) katakanlah "al a'fuw" (kelebihan harta). Dari Ibnu Abbas berkata al a'fuw adalah kelebihan harta setelah menafkahi keluarga. Ibnu Katsir berkata demikian halnya riwayat tersebut diriwayatkan pula oleh Ibnu Umar, Mujahid, A'tho, I'krimah, Said Bin Jubair, Muhammad Bin Kaa'b, Al Hasan, Qotadah, Al Qoosim, Saalim, A'tho al Khurasany, Rabi' Bin Anas dan yang lainnya mereka menafsirkan makna al a'fuw dengan kelebihan.
Dan kesimpulan Qaradhawi "Dengan demikian maknanya adalah bahwa hikmah Allah SWT menjadikan harta yang wajib dizakati adalah harta yang berlebih dari kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan dirinya keluarganya dan yang dia tanggung nafkahnya, dan kebutuhan dirinya harus lebih didahulukan dari kebutuhan orang lain demikian kebutuhan keluarganya dan yang ditanggungnya. Syariah tidak mewajibkan untuk menginfakkan kebutuhannya. Selanjutnya, Dr Yusuf Qaradhawi menukil Al Hasan dalam menafsirkan ayat di atas "Tidak boleh seseorang menginfakkan hartanya, kemudian akhirnya dia meminta-minta".[18]
Dari penjelasan di atas Dr Yusuf Qaradhawi menyimpulkan mengenai penunaian zakat penghasilan profesi, "Kami memilih pendapat zakat atas gaji dan penghasilan profesi lainnya dan yang kami anggap pendapat yang paling kuat adalah tidak dikeluarkan zakatnya kecuali dari penghasilan bersih."
Dengan demikian, pendapat kami adalah zakat dikeluarkan dari pendapatan bersih setelah dikurangi hutang, dan kebutuhan pokoknya dan orang yang wajib dinafkahinya, karena kebutuhan pokok adalah suatu yang menjadi penopang hidup yang mesti dipenuhi dan zakat hanya ditunaikan atas kelebihan dari kebutuhan pokoknya sebagaimana telah kami jelaskan pada penjelasan sebelumnya. Demikian halnya bagi yang memiliki profesi yang memerlukan cost seperti praktek dokter, pengacara dan yang semisalnya, semua cost-nya dikurangkan atas pendapatannya dianalogikan pada hasil pertanian sebagaimana pendapat A'tho dan yang lainnya "kurangkan semua biaya dan baru keluarkan zakatnya".[19]
Dari kesimpulan Dr Yusuf Qaradhawi menyebutkan bahwa di samping kebutuhan pokok yang dikurangkan hutang juga menjadi pengurang, tapi hutang seperti apa yang dapat dikurangkan ?
Para ulama yang sepakat bahwa hutang dapat mengurangi harta zakat ialah hutang yang tertunaikan sebagaimana pendapat Abu Ubaid yaitu hutang yang ril. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa hutang adalah bagian yang dapat mengurangi harta yang wajib dizakati. Abu Ubaid meriwayatkan dari Saaib Bin Yaziid dia berkata : "Saya mendengar Utsman Bin Affan berkata : "Ini adalah bulan kalian menunaikan zakat, siapa yang berhutang hendaklah dia menunaikan hutangnya sehingga kemudian kalian keluarkan zakatnya". Dalam riwayat lain Imam Malik menyebutkan : " Siapa yang  memiliki hutang hendaklah dia tunaikan hutangnya dan kemudian zakati sisanya".
Adapun hutang yang dapat dikurangkan adalah hutang bulan berjalan atau tahun berjalan, adapun hutang jangka panjang tidak dapat dikurangkan nilai bukunya.[20]

[1] Dr Yusuf Qaradhawi, Fikih Zakat, vol 1: 372-273
[2] Dr Ahmad Yusuf Duraiwisy, Ahkam As Suuq Fil Islam Wa Atsaruha Fil Iqtishod Al Islamy, 117, Dr Subhi Sholih, An Nudhum Al Islamyah, 422.
[3] Ibid, Dr Ahmad Duraiwisy, p : 110-111
[4] Ibid, vol 1 hal 257-261
[5] Dr Subhi Sholih, p : 428
[6] Keputusan Muktamar kedua Pusat kajian Islam Cairo pada poin b.
[7] Lihat Qaradhawi, fikih zakat, vol 1: 519-520
[8] Dr Husain  Syahatah, At Tathbiiq al mua’shir liz zaakh, hal;203
[9] Dr Muhammad Kamal Al A’thiyyah, Dalil az Zakah, hal 22,  dan Haalah Tathbiqiyyah fi muhasabati az zakah, hal 71
[10] Lihat hal itu dalam : Dr. Yusuf Qaradhawi, ibid, jld. 1, hal. 378.
[11] Ibnu Qudamah, al Mughni, ibid, jld.2, hal. 799.
[12] Dr Muhammad Ahmad Jaadu, makalah Seminar Implementasi Zakat Di Era Modern, hal, 30-31
[13] Dr Husain Syahatah, At Tathbiiq Al Mua’shir Liz Zakah, hal 203
[14] Dr Qaradhawi, Fikih Zakat, vol 1, p : 153, lihat  Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, Al Mausuuah Al Fikihiyyah, vol 23, p: 242 dalam materi zakat.
[15] Ibid Mausuah Fikihiyyah, Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, vol 32 :242
[16] Ibid, vol 1 : 152
[17] Ibid, vol 1 : 154, dinukil dari Ibnu Hajar, Fahul Bari, vol 3 : 189
[18] Ibid, vol 1 : 154-155
[19] Ibid, vol 1: 517
[20] Baitu Zakah, Kuwait, Muhasabah Zakat, www.alIslam.net

Tidak ada komentar:

Blog Hidup Untuk Tafakur

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terimakasih para pembaca yang Budiman atas kunjungannya di Blog Hidup Untuk Tafakur ini.

Posting tulisan ini merupakan tulisan original dan bukan merupakan hasil Copy Paste dari Blog , Website atau sumber manapun dengan tujuan untuk memberikan alternative lain dalam mempelajari Agama agar kita bisa menemukan Sang Maha Pencipta dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap helaan nafas sampai hembusannya yang terakhir.

Kecuali untuk Kategori Buku, IPTEK dan Pengetahuan Umum.

Mari kita hilangkan segala bentuk perbedaan dengan kembali kepada Al-Qur'an sebagai sumber rujukan.

Bila berkenan, silahkan memberikan komentar, saran dan kritik membangun, juga dipersilahkan untuk menyebarkan dan membagikan tulisan ini secara Gratis.

Dan bagi yang mau copy paste tulisan ini, mohon untuk mencantumkan sumbernya.

Mari kita berbagi Ilmu yang Bermanfaat untuk mendapatkan Rida dan Rahmat dari-Nya.

Wassalam
Penulis
Juhdi Mulyadi

Laman

Sumber Inspirasi Penulis



Belajar Memahami Hidup dengan Metode Tafakur dan Tadzakur.

S U R A T I B R A H I M

14:52. (Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

S U R A T A L - I M R O N

3:18. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

S U R A T Y U N U S

10:24. Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.

S U R A T A L - B A Q A R A H

2:164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

S U R A T A L - I M R O N

3:191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

S U R A T A R - R A ' D U

13:3. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

S U R A T A R - R U U M

30:8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.


S U R A T A L - A ' R A F

7:146. Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.

7:179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.