A. Rumusan Harta Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Para
fuqoha mengklasifikasikan harta wajib zakat ditinjau dari berbagai
sudut pandang, yang paling populer dikalangan fuqoha adalah klasifikasi
berdasarkan klasifikasinya; zakat emas dan perak, zakat hasil pertanian,
zakat binatang ternak, zakat perdagangan dan zakat harta galian
termasuk pertambangan. Dalam perkembangannya ulama kontemporer
menambahkan beberapa katagori seperti zakat madu dan produk hewani,
zakat barang tambang dan hasil laut, zakat investasi harta tidak
bergerak, zakat pendapatan rutin dari hasil profesi dan zakat saham
serta obligasi.(Dr Yusuf Qordhowy, 1969)
Sebagian
ulama kontemporer mengklasifikasikan harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya dengan pendekatan aspek liquidas kekayaan yaitu pada dua
katagori; Harta yang tetap, tidak bergerak, seperti hasil yang dihasilkan dari tanah pertanian dan harta yang bergerak,
seperti ternak, emas, perak dan uang. Untuk katagori yang pertama zakat
dikeluarkan dari hasilnya saja tidak memasukkan unsur asalnya, hasil
pertanian misalnya zakat hanya dikenakan atas hasilnya tidak memasukkan
unsur asalnya yaitu nilai tanah, demikian halnya dengan harta hasil
galian. Sementara katagori kedua zakat dikenakan atas hasil dan harta
asalnya, seperti pertambahan emas atau uang maka zakatnya atas emas atau
uang secara keseluruhan, demikian halnya dengan zakat perniagaan
dikenakan atas modal dan hasilnya. Penjelasan rinci akan hal tersebut
akan dibahas kemudian.
Klasifikasi
diatas dipandang dari sisi potensi zakat. Sedangkan dari sisi tarifnya
Rasulullah saw menentukan untuk harta yang tidak bergerak zakatnya
sebesar 5% sampai 20% dari hasil yang dihasilkan, sedangkan untuk harta
yang bergerak Rasulullah saw menetapkan tarip 2.5 % dari seluruh asset
yang dimiliki.
Dengan
demikian para ulama kotemporer mencoba untuk menentukan standar yang
dapat digunakan untuk mengkalsifikasikan harta kekayaan, maka harta
kekayaan dapat dikatagorikan pada asset bergerak atau harta bergerak;
ialah asset atau kekayaan yang dapat dipindahkan atau dibawa, seperti
uang, perdagangan, atau ternak. Sementara asset tidak bergerak adalah
yang tidak mungkin untuk dipindahkan tanpa merubah bentuk, seperti
tanah, bangunan ataupun pepohonan, dalam hal ini zakat hasil pertanian
dan hasil galian dikatagorikan zakat dari harta yang tidak bergerak
dengan mempertimbangkan unsur asalnya yaitu tanah meskipun pada
hakikatnya hasil pertanian dan hasil galian atau rikaz merupakan barang
yang dapat dipindahkan.
Para fuqoha mengelompokkan harta “perdagangan” pada u`rudh tijarah (komoditi yang akan diperjual belikan) dikatagorikan sebagai asset bergerak dan “u`rudh qoniyyah” (komoditas yang berkaitan dengan perdagangannya tapi tidak diniatkan untuk diperjualbelikan) pada harta yang tidak bergerak. Hal tersebut karena:
- Harta perdagangan adalah harta yang dipersiapkan untuk diperdagangkan dan disimpan sebagai inventory perdagangan
- Sementara Qoniyyah ialah
barang dagangan yang tidak dipersiapkan untuk diperdagangkan dan
tidak untuk disimpan sebagai inventory perdagangan.
Qoniyyah adalah
merupakan “barang tersimpan” yang pada asalnya tidak diniatkan untuk
diperdagangkan kemudian berubah menjadi barang dagangan. Maka para
fuqoha ketika membedakan antara harta perniagaan dengan qoniyyah, mereka mengikuti dua prinsip;
- Didasarkan pada, asumsi apakah barang yang dijual tersebut pada mulanya diniatkan sebagai barang dagangan atau bukan?
- Didasarkan
pada asumsi apakah tersimpannya barang tersebut menunggu terjual
dengan mendapatkan keuntungan atau untuk disimpan tanpa ada tujuan
untuk dijual, tapi ternyata dikemudian hari dijual? Jika
barang tersebut memang diniatkan dan dibelinya untuk dijual kembali
maka hal tersebut termasuk kategori “urudh tijaroh” harta
perdagangan, sedangkan apabila hal tersesebut pada awalnya bukan
untuk dijual dan tidak ada niat untuk dijual belikan tapi kemudian
barang tersebut dijual, hal tersebut diistilahkan oleh ulama
sebagai “Al qoniyyah” (Qorodhowy, 1969,)
Rumusan Tarif Zakat
Tarif
zakat harta bergerak berkisar dari 1.25 % sampai 2.5%. Sementara tarif
zakat untuk harta yang tidak bergerak berkisar antara 5%, 10% sampai 20%
sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya. Tapi pada umumnya tarif
zakat atas uang dan perdagangan adalah 2,5 % dihitung dari keseluruhan
asset sedangkan pada pertanian dan hasil manfaat kebiasaannya 10%.
Apabila dilakukan suatu perhitungan bahwa nilai zakat dengan tarif 2,5 %
dari asset akan sama dengan nilai zakat 10% dari hasil netto apabila
pemilik asset tersebut meraih keuntungan 33,5 % dari assetnya. Misalnya
nilai asset sebesar $ 1000, apabila nilai keuntungannya sebesar 33,5 %
maka nilai assetnya adalah $ 1333 dan nilai zakatnya adalah 2,5 % X $
1333 = 33,3, dan nisbah nilai zakat atas nilai keuntungan adalah 33,3 :
333 X 100 = 0,1 atau 10% Sedangkan nilai asset netto minus zakat adalah
1300. Hal tersebut sesuai dengan pendapat para fuqoha yang membolehkan
pengambilan keuntungan sebesar sepertiga dari modal ( Dr Abdu Samii` Al
Mishry, Attijarah Fil Islam, menuqil dari Ihya Ulumuddin Imam Al
Ghazaly, Dr Kamal A`thiyyah An Nadhariyyah Al Muhasabiyyah fi al Fikr Al
Islamy, vol 3 Muhasabah Az Zakah )
B. Nishab Zakat
Hitungan Nishab dalam Konteks Sekarang
Diantara
Syarat diwajibkannya zakat adalah nishab zakat, yaitu sampainya nilai
harta pada kadar tertentu yang telah ditentukan, dan apabila harta
tersebut belum mencapai batas tadi maka tidak ada kewajiban zakat
baginya, sebagaimana sabda Rasulullah saw : Tidak ada zakat kecuali bagi
orang yang benar-benar kaya.
1. Nishab Zakat Pertanian
Dari Jabir, dari Rasulullah SAW “… Tidak wajib bayar zakat pada kurma yang kurang dari 5 awsuq” (HR Muslim). Dari hadist ini dijelaskan bahwa nishab zakat pertanian adalah 5 awsuq.” Awsuq jamak dari wasaq.
Dr Yusuf Qaradhawi dalam kitab Fikih Zakat mengungkapkan dengan rinci mengenai hitungan ini dan kesimpulannya adalah; 1 wasaq = 60 sha’, sedangkan 1 sha’ = 2,176 kg, maka 5 wasaq adalah 5 x 60 x 2,176 = 652,8 kg . [1]
Dalam menentukan ukuran wasaq para ulama sepakat bahwa satu wasaq adalah 60 sha’ sebagaimana
yang diungkapkan oleh para ulama terdahulu seperti Al Jauhary dalam
Shihhahnya, Yahya Ibnu Adam dan Abu Yusuf dalam khoroj Abu Suja' dalam
Iqna' dan yang lainnya. [2] Tapi yang jadi akar perbedaan pendapat mengenai ukuran satu wasaq adalah ketika menetukan berapa ukuran satu sho'.
Dr Ahmad Duraiwisy menjelaskan dengan rinci yang kesimpulannya adalah ada dua pendapat mengenai ukuran sha’
pendapat pertama adalah pendapat Abu Yusuf, dari Madzhab Hanafi, juga
pendapat Madzhab Maliky, Syafii' dan Hambaly, yang mengatakan bahwa satu
sha’ Rasulullah SAW adalah setara dengan empat mud dan satu mud setara dengan 1,33 (satu sepertiga) liter Baghdady, maka satu sha’ setara dengan lima sepertiga liter Baghdady.
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad Bin Hasan yang mengatakan satu mud sama dengan dua liter sehingga ukuran satu sha’ menurut Abu Hanifah adalah delapan liter Baghdady.[3] Inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam ukuran wasaq dalam satuan kilo gram. Dan pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat diantara pendapat-pendapat lainnya mengenai nishab, demikian diungkapkan Qaradhawi.
1. Nishab Emas
Dr Qaradhawi menjelaskan dengan panjang lebar mengenai nishab emas sebagaimana riwayat-riwayat yang ada bahwa nishab emas adalah 20 dinar atau mitsqol dan dalam kajiannya Qaradhawi menyimpulkan berdasarkan data-data ilmiah bahwa 1 dinar = 4,25 gram, maka nishab emas adalah : 20 X 4,25 gram = 85 gram. Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham, dan 1 dirham = 2,975 gram, maka nishab perak adalah 200 X 2,975 gram = 595 gram.[4] Dr Subhy Sholih menambahkan bahwa ukuran mitqol
dan dinar adalah ukuran yang tetap baik di zaman jahiliyah maupun di
masa Islam dan mungkin dapat kita jadikan sebagai ukuran standar.
Para
arkeolog menemukan uang peninggalan masa pertengahan Islam dan
mendapatkan bahwa uang dinar peninggalan khalifah Abdul Malik Bin Marwan
(th 80 H) timbangannya adalah 4,25 gram. Oleh sebab itu selama ukuran mitsqol sama dengan dinar maka sekitar itulah timbangannya.[5]
Kebanyakan
ulama kontemporer menggunakan standar emas sebagai pedoman zakat uang
karena relatif stabil dibanding dengan perak. Sidang Mu’tamar Kajian
Islam di Cairo telah memutuskan bahwa nishab untuk uang yaitu senilai
dengan 85 gram emas, dan hal tersebut berlaku untuk zakat perdagangan,
perusahaan, saham dan harta investasi yang diambil manfaatnya dan
penghasilan profesi.[6] Demikian halnya fatwa Majlis Ulama Indonesia yang menjadikan standar emas senilai 85 gram emas untuk zakat penghasilan.
Adapun
nishab binatang `ternak sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW
untuk kambing 40 ekor, sapi 30 ekor dan unta 5 ekor selanjutnya
mengikuti jadwal yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW
Zakat Penghasilan
Zakat
penghasilan ialah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan kita atau
pendapatan yang didapatkan dari hasil kerja kita, Para ulama kontemporer
dalam menentukan tarif zakat profesi juga berbeda, pendapat yang
masyhur adalah pendapat Muhammad Abu Zahrah, Abdurahman Hasan, Abdul
Wahhab Khollaf, Yusuf Qaradhawi, Syauqy Shahatah dan yang lainnya
sepakat bahwa tarif zakat penghasilan profesi adalah 2,5 %.
Dalam hal ini Qaradhawi menegaskan ”Adapun
penghsilan yang didapatkan dari pekerjaan seperti penghasilan para
pegawai atau orang yang memiliki profesi tertentu maka zakat yang wajib
dikeluarkannya adalah 2,5% saja, hal tersebut berdasarkan pada keumuman
nash yang mewajibkan zakat uang 2,5%. Tidak dibedakan apakah penghasilan
itu didapatkan sebagai maal mustafad yang didapatkan seketika setelah
selesai pekerjaan atau yang mengikuti kaidah haul (seperti gaji atau
upah prinsipnya adalah gaji tahunan tetapi karena kebutuhan di-split
perbulan). Selain itu juga berdasarkan prinsip Islam bahwa jerih payah
menentukan ukuran kewajiban. Terakhir adalah berdasarkan pada apa yang
telah dilakukan oleh para pendahulu kita seperti Ibnu Mas’ud, Muawiyah
dalam kasus pemotongan zakat atas gaji para pegawai dan apa yang juga
dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz. Maka dalam hal ini menganalogikan
penghasilan kerja dan profesi pada al u’thiyyah lebih dekat dibanding
menganalogikan pada hasil pertanian.”
Adapun
dalam kasus kontemporer menganalogikan hasil manfaat seperti penyewaan
rumah dan semisalnya pada pertanian memang tepat karena dia hanya
mengambil manfaat dari aset yang tetap miliknya dengan demikian tarifnya
adalah antara 5-10 %. Dengan dasar tersebut sesuai dengan kaidah jerih
payah menentukan kadar kewajiban, maka jerih payah pekerja dibanding
orang yang memiliki asset yang disewakan lebih besar, oleh sebab itu
berimplikasi pada tarif, sehingga pekerja tarifnya lebih rendah
dibanding dengan orang yang hanya mendapatkan hasil dari pemanfaatan
asset.[7]
Pendapat
lainnya adalah sebagaimana yang diungkapkan di atas adalah dengan
menganalogikan pada hasil pertanian maka zakatnya adalah 5%. [8] Di antaranya adalah pendapat Dr Muhammad Said Abdus Salam dalam bukunya ”Al Muhasabah Fil Islam” (Akuntansi dalam Islam).[9]
Senada
dengan pendapat di atas Muhammad Ahmad Jaadu juga berpendapat bahwa
zakat atas penghasilan profesi adalah 5% - 10% dan kemudian beliau
merinci hal tersebut ;
Telah
dikemukakan sebelumnya pada sesi terdahulu kesimpulan penulis bahwa
nilai zakat penghasilan, upah dan profesi sama senilai kewajiban zakat
pertanian dan buah-buahan. Dan telah ditetapkan kalau nilai zakat
pertanian berkisar antara 5%, 10% sebagaimana dijelaskan hadits
Rasulullah SAW. dan ditempuh para sahabat, tabi'in serta para ahli fikih.
Dan
para ahli fikih telah menjelaskan mengenai nilai zakat dengan
terperinci, di mana mereka menyimpulkan bahwa hikmah adanya perbedaan
nilai zakat dalam zakat pertanian dan buah-buahan antara 5-10%. Hal itu
kembali kepada tingkat perbedaan kerja keras dalam mengairi tanamannya,
dengan asumsi bahwa unsur pengairan merupakan unsur primer dalam
kehidupan tanaman. Terkadang air bisa didapatkan dengan mudah tanpa
harus bekerja keras. Seperti pengairan lewat hujan, sungai atau mata
air. Maka kewajiban zakatnya sebesar 10% dari hasil pertanian dan
buah-buahan. Adapun kalau pengairannya dengan menyemprotkan sendiri,
maka nilainya 5% disebabkan besarnya kerja keras yang diupayakannya
dalam proses pengairan itu.
Salah
seorang ulama muslim kontemporer menyimpulkan bahwa apabila pertanian
dan buah-buahan itu diairi dengan hujan dan sekaligus dengan menyemprot
sendiri, atau satu saat menyemprot sendiri dan di waktu yang lain dengan
air hujan, maka nilai zakatnya di sini menggunakan nilai pertengahan
antara 5% dan 10% yaitu sebesar 7,5%. [10]
Dalam hal ini, penyusun al Mughni [11]mengatakan,
"Apabila ia mengairi tanaman dengan kerja keras selama setengah tahun
dan setengah tahun lagi tanpa kerja keras -yaitu dengan menyemprot
sendiri dan air hujan- maka zakatnya 7,5%. Ibnu Qudamah mengatakan,
"Kami tidak tahu ada pertentangan padanya, karena setiap salah seorang
darinya apabila ia mendapatkan (hujan) di sepanjang tahun maka ia harus
menunaikan kewajibannya dan apabila ia mendapatkan setengah tahun, maka
yang wajib adalah setengahnya.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka penulis dengan berpegang pada kaidah-kaidah
sebelumnya mengenai batasan nilai zakat pertanian dan buah-buahan
mengusulkan volume nilai zakat penghasilan, upah dan profesi seperti
berikut ini :
1.
Kelompok pekerja yang dibebani kewajiban zakat sebesar 10% yaitu
kelompok yang tidak mengeluarkan kerja keras yang besar dalam
mendapatkan penghasilan, upah dan imbalan profesinya.
2.
Kelompok yang dibebani kewajiban zakat sebesar 7,5%, yaitu kelompok
yang menengah kerja kerasnya dalam mendapatkan penghasilan, upah dan
gajinya. Atau tengah-tengah antara kerja otot dan kerja otak.
3. Kelompok yang dibebani kewajiban zakat 5%, yaitu kelompok yang kerja ototnya lebih dominan dari pada kerja otak. [12]
Dari
berbagai pendapat di atas, pendapat ketiga perlu mendapatkan perhatian
kajian yang lebih mendalam, karena kajian tersebut adalah berdasarkan
kajian analistis perbandingan antara pajak penghasilan dengan zakat
penghasilan menurut konsep pajak dan konsep Islam, sehingga menghasilkan
ijtihad seperti di atas.
Sedangkan
pendapat pertama yaitu pendapat kebanyakan ulama kontemporer seperti
Dr Muhammad Abu Zahrah, Dr Abdul Wahhab Khollaf, Dr Yusuf Qaradhawi, Dr
Syauqy Syahatah, Husain Syahatah, Dr Abu Sattar Abu Ghodah, Dr Yusuf
kamal, Dr Muhammad Kamal A’thiyyah dan beberapa ulama lainnya adalah
pendapat mayoritas ulama kontemporer dan telah disepakati oleh Al Haiah
Asy Syari’yyah Al A’lamiyyah liz zakah” (Badan Syariah zakat
internasional).[13] Juga merupakan fatwa Majlis Ulama Indonesia dalam keputusan fatwanya no 3 tahun 2003.
Meskipun telah ada Fatwa Majlis Ulama Indonesia mengenai ketentuan nishab namun untuk kasus Indonesia ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishab dan kadar zakat profesi, yaitu :
- Menganalogikan secara mutlak kedua kategori di atas dengan hasil pertanian, baik nishab maupun kadar zakatnya. Dengan demikian, nishab-nya adalah senilai dengan hasil pertanian yaitu 653 kg gabah, tarifnya 5%, dan dikeluarkan setiap menerima hasil tersebut.
- Menganalogikan secara mutlak kedua kategori di atas dengan zakat emas. Nishab-nya
85 gram emas. Kadar zakatnya 2,5% dan dikeluarkan setiap menerima atau
penghitungannya diakumulasikan dibayar di akhir tahun. Sebagaimana fatwa
Majlis Ulama Indonesia.
- Menganalogikan nishab zakat upah kerja/gaji dengan nishab zakat hasil pertanian. Nishab-nya
senilai 653 kg gabah dan dikonversi ke dalam makanan pokok, yaitu beras
dengan penyusutan 20% dari gabah. Dari penyusutan ini diperkirakan
hasilnya menjadi 520 kg beras. Sedangkan, kadar zakatnya dianalogikan dengan emas yakni 2,5%. (Sebagaimana hasil kajian Dewan Syariah Dompet Dhuafa).
- Sama dengan pendapat ketiga yaitu menganalogikan nishab zakat upah kerja dengan nishab
zakat hasil pertanian yaitu senilai 653 kg beras bukan gabah dengan
tidak mengkonversi dari gabah keberas dengan penyusutan 20% dengan
alasan bahwa dalam riwayatnya hasil pertanian mencakup gandum dan kurma
dengan takaran yang sama sedangkan kurma adalah makanan yang siap
dimakan, dengan alasan tersebut maka batasan nishab adalah 653
kg beras bukan gabah karena dibandingkan gabah beras lebih mudah
prosesnya untuk dikonsumsi. (diantara kajian PKS - Pusat Konsultasi
Syariah)
Pendapat ketiga dan keempat adalah berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
- Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian). Dalam hal ini, maka harta ini dapat di-qiyas-kan ke dalam zakat pertanian berdasarkan nishab 653 kg gabah atau beras dan waktu pengeluaran zakatnya (setiap kali panen).
- Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang. Oleh sebab itu, untuk harta ini dapat di-qiyas-kan
dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan kadar zakat yang
harus dibayarkan (2,5 %). Dengan demikian, hasil profesi seseorang
apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka wajib baginya untuk
menunaikan zakat.
Model
penganalogian tersebut tidak asing di kalangan ulama salaf, seperti
saat para ulama menganalogikan hamba sahaya. Di satu sisi, hamba sahaya
dianalogikan dengan hewan untuk menetapkan boleh/tidaknya mereka
diperjualbelikan. Namun di sisi lain, hamba sahaya dianalogikan dengan
manusia mukallaf ketika mereka harus malaksanakan beberapa taklif, seperti shalat dan puasa.
Dalam hal ini pendapat keempat yang kami ambil sebagai pegangan perhitungan. Ini berdasarkan pertimbangan maslahah bagi muzakki dan mustahik. Maslahah bagi mustahik adalah apabila dianalogikan dengan pertanian, baik nishab dan kadarnya. hal ini akan memberatkan muzakki karena tarifnya adalah 5%, tapi maslahat untuk mustahik. Sementara itu, jika dianalogikan dengan emas, baik kadar dan nishab-nya, maka hal ini akan mengurangi maslahah bagi mustahik karena tingginya nishab akan semakin mengurangi jumlah orang yang sampai pada nishab. Oleh sebab itu, pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memperhatikan maslahah kedua belah pihak (muzakki dan mustahik). Sedangkan pendapat keempat adalah pendapat yang lebih maslahah untuk muzakki dan mustahik. Di bawah ini simulasi dari keempat pendapat yang ada :
No
|
Nishab
|
Tarif
|
Simulasi Penghasilan
|
Zakatnya
|
1 |
Pertanian |
5% |
653 x Rp 1.500 = Rp 979.500 |
Rp 979.500 x 5% = Rp 48.975 |
2 |
Emas |
2.5% |
85 x Rp 150.000 = Rp 12.750.000 / 12 = Rp 1.062.500 |
Rp 1.062.500 x 2.5 %=Rp 26.562.5 |
3 |
Pertanian konversi |
2.5% |
520 x Rp 4000 = Rp 2.080.000 |
Rp 208.000 x 2.5 % = Rp 52.000 |
4 |
Pertanian siap saji |
2.5% |
653x Rp 4000 = Rp 2.612.000 |
Rp 261.200 x 2.5% = Rp 65.300 |
Asumsi :
Harga gabah Rp 1.500, harga emas Rp 150.000, harga beras Rp 4.000.
Dari tabel simulasi di atas bisa kita dapatkan bahwa nilai nishab bagi pendapat pertama adalah Rp 979.500 dengan nilai zakat yang harus dikeluarkan Rp 48.975, dan pendapat kedua nilai nishab Rp 1.062.500 dengan nilai zakat Rp 26.562.5, pendapat ketiga nishab Rp 2.080.000 dengan nilai zakat Rp 52.000 dan pendapat terakhir nishabnya Rp 2.612.000 dengan nilai zakat Rp 65.300.
Apabila
kita buat perbandingan simulasi dengan nilai penghasilan misalnya Rp
5.000.000 maka nilai zakatnya adalah : Pendapat pertama Rp 250.000,
sedangkan untuk pendapat kedua, ketiga dan keempat Rp 125.000. Ini
menunjukkan bahwa hanya pendapat pertama yang mencolok perbedaannya
karena tarif yang 5% sedangkan pendapat lainnya sama yaitu 2,5% yang
membedakan adalah hanya batas minimumnya saja.
Dengan simulasi ukuran nishab
dan tarif diatas kita bisa simpulkan bahwa dalam perekonomian Indonesia
yang tidak stabil ini maka pihak badan atau lembaga zakat atau lembaga
yang memiliki kewenangan fatwa mengeluarkan standar nishab dengan indeks harga resmi yang berlaku baik indeks harga emas yang akan dijadikan standar untuk nishab bagi yang menggunakan standar emas, atau indeks harga gabah atau beras untuk menentukan nishab bagi yang menjadikan gabah atau beras sebagai standar
Zakat Profesi dari Netto atau Bruto ?
Masalah yang menjadi perdebatan pada praktek penunaian zakat adalah masalah "apakah zakat ditunaikan dari penghasilan netto (bersih) atau brutto (kotor) ? dan kalau netto apa yang dapat mengurangi?. Masalah ini nampaknya menjadi masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Dalam bahasa fikihnya apakah ada hal-hal yang dapat menjadi pengurang harta wajib zakat, dengan bahasa fikihnya adalah "al fadhlu a'n alhawaaijul ashliyyah" atau "Az ziyadah a'la al haajah al ashliyyah" (kelebihan dari stándar kebutuhan hidup). Syarat ini sebenarnya tidak lepas dalam pembahasan nishab,
bukan masalah yang berdiri sendiri demikian para ulama menyimpulkan,
misalnya ulama Hanafiyah dalam kebanyakan rujukannya menyebutkan bahwa
di antara syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah apabila
harta tersebut mencapai nishab setelah dikurangi kebutuhan
hidupnya dengan alasan bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang memiliki
harta dan subtansinya adalah karunia yang diberikan menjadi penyebab
kondisi diri yang baik.[14]
Mereka juga berpendapat "Orang yang sibuk untuk memenuhi kebutuhan
stándar hidupnya dianggap orang yang tidak memiliki apapun." Ibnu Malik
menambahkan "Siapa yang memiliki "darahim" uang dan mencapai nishab dengan niat akan dibelanjakan untuk kebutuhan hidupnya, maka dia tidak diwajibkan zakat meskipun telah sampai haul".Tapi
Ibnu Najim membantah pendapat tersebut dengan pendapatnya "Zakat
diwajibkan atas dasar pendapatan baik diniatkan untuk dibelanjakan
ataupun untuk diinvestasikan". [15]
Atas
dasar pemikiran di atas, maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa zakat
ditunaikan setelah dikurangi kebutuhan hidup standar, atau kebutuhan
hidup yang pokok meliputi sandang, pangan dan papan, oleh sebab itu
persyaratan yang diungkapkan oleh para ulama adalah kebutuhan pokok
bukan kebutuhan secara umum.
Dalam hal ini Dr Yusuf Qaradhawi mengomentari, "Perlu digarisbawahi bahwa kebutuhan di sini adalah kebutuhan pokok (al haajah al ashliyyah)
karena kalau kebutuhan tidak dibatasi dengan kebutuhan pokok
sesungguhnya kebutuhan manusia sangatlah banyak bahkan mungkin tidak ada
habisnya, apalagi di era sekarang ini yang seantiasa membutuhkan
kebutuhan-kebutuhan pelengkap yang juga dianggap sebagai kebutuhan
prinsip. Oleh sebab itu, tidak setiap kebutuhan yang diinginkan dianggap
sebagai kebutuhan pokok, karena seandainya anak Adam ini diberi dua
lembah yang berisi emas pasti akan meminta yang ketiga. Akan tetapi yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok di sini adalah kebutuhan yang tanpanya
manusia sulit mempertahankan eksistensinya, seperti kebutuhan pangan,
sandang, dan perumahannya sebagaimana juga kebutuhan konsumsi
intelektualnya dan penunjang profesinya."[16]
Dr
Yusuf Qaradhawi menjelaskan argumentasi para ulama mengapa zakat secara
umum ditunaikan dengan syarat dikurangi kebutuhan pokok?
Pertama, beliau mengungkapkan dalil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dalam takhrij-nya " إِنَّمَا الصَّدَقَةُ عَنْ ظَهْرِ غِنَي " yang artinya "Shodaqoh itu (zakat) hanya dibebankan kepada orang yang memiliki kecukupan harta". Dalam riwayat lain disebutkan " لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ غِنَي " Tidak ada shadaqah (zakat) kecuali dibebankan kepada orang yang memiliki kecukupan harta".
Imam Bukhori dalam shahihnya meriwayatkan dengan mua'llaq (tanpa menyebutkan sanad) dalam kitab Al Washoya
dan menjadikan lafadz riwayat di atas sebagai salah satu judul dalam
kitab zakat, beliau berkata dalam bab " لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ
غِنَي وَمَنْ تَصَدَّقَ وَهُوَ مُحْتَاجٌ، أَوْ أَهْلُهُ مُحْتاَجُوْنَ ،
أَوْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ، اَلدَّيْنُ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى مِنَ الصَّدَقَةِ
"
Artinya, "Tidak
ada shadaqah (zakat) kecuali dibebankan kepada orang yang memiliki
kecukupan harta, orang yang berzakat akan tetapi dia butuh, atau
keluarganya membutuhkan, atau dia punya hutang, dan hutang harus lebih
diutamakan untuk ditunaikan dibanding zakat." Al hafidz
Ibnu Hajar dalam menjelaskan judul ini mengomentari seolah-olah Imam Bukhori bermaksud menjelaskan hadits di atas bahwa syarat muzakki adalah dirinya tidak dalam keadaan membutuhkan atau keluarga yang wajib dinafkahinya. [17]
Dalil
berikutnya adalah firman Allah Taa'la : يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا
يُنْفِقُوْنَ قُلِ اْلعَفْوُ . "Mereka bertanya apa yang harus diinfakkan
(zakat) katakanlah "al a'fuw" (kelebihan harta). Dari Ibnu Abbas berkata al a'fuw
adalah kelebihan harta setelah menafkahi keluarga. Ibnu Katsir berkata
demikian halnya riwayat tersebut diriwayatkan pula oleh Ibnu Umar,
Mujahid, A'tho, I'krimah, Said Bin Jubair, Muhammad Bin Kaa'b, Al Hasan,
Qotadah, Al Qoosim, Saalim, A'tho al Khurasany, Rabi' Bin Anas dan yang
lainnya mereka menafsirkan makna al a'fuw dengan kelebihan.
Dan
kesimpulan Qaradhawi "Dengan demikian maknanya adalah bahwa hikmah
Allah SWT menjadikan harta yang wajib dizakati adalah harta yang
berlebih dari kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan dirinya keluarganya dan
yang dia tanggung nafkahnya, dan kebutuhan dirinya harus lebih
didahulukan dari kebutuhan orang lain demikian kebutuhan keluarganya dan
yang ditanggungnya. Syariah tidak mewajibkan untuk menginfakkan
kebutuhannya. Selanjutnya, Dr Yusuf Qaradhawi menukil Al Hasan dalam
menafsirkan ayat di atas "Tidak boleh seseorang menginfakkan hartanya, kemudian akhirnya dia meminta-minta".[18]
Dari
penjelasan di atas Dr Yusuf Qaradhawi menyimpulkan mengenai penunaian
zakat penghasilan profesi, "Kami memilih pendapat zakat atas gaji dan
penghasilan profesi lainnya dan yang kami anggap pendapat yang paling
kuat adalah tidak dikeluarkan zakatnya kecuali dari penghasilan bersih."
Dengan
demikian, pendapat kami adalah zakat dikeluarkan dari pendapatan bersih
setelah dikurangi hutang, dan kebutuhan pokoknya dan orang yang wajib
dinafkahinya, karena kebutuhan pokok adalah suatu yang menjadi penopang
hidup yang mesti dipenuhi dan zakat hanya ditunaikan atas kelebihan dari
kebutuhan pokoknya sebagaimana telah kami jelaskan pada penjelasan
sebelumnya. Demikian halnya bagi yang memiliki profesi yang memerlukan cost seperti praktek dokter, pengacara dan yang semisalnya, semua cost-nya dikurangkan atas pendapatannya dianalogikan pada hasil pertanian sebagaimana pendapat A'tho dan yang lainnya "kurangkan semua biaya dan baru keluarkan zakatnya".[19]
Dari
kesimpulan Dr Yusuf Qaradhawi menyebutkan bahwa di samping kebutuhan
pokok yang dikurangkan hutang juga menjadi pengurang, tapi hutang
seperti apa yang dapat dikurangkan ?
Para
ulama yang sepakat bahwa hutang dapat mengurangi harta zakat ialah
hutang yang tertunaikan sebagaimana pendapat Abu Ubaid yaitu hutang yang
ril. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa hutang adalah bagian yang dapat
mengurangi harta yang wajib dizakati. Abu Ubaid meriwayatkan dari Saaib
Bin Yaziid dia berkata : "Saya mendengar Utsman Bin Affan berkata :
"Ini adalah bulan kalian menunaikan zakat, siapa yang berhutang
hendaklah dia menunaikan hutangnya sehingga kemudian kalian keluarkan
zakatnya". Dalam riwayat lain Imam Malik menyebutkan : " Siapa yang
memiliki hutang hendaklah dia tunaikan hutangnya dan kemudian zakati
sisanya".
Adapun
hutang yang dapat dikurangkan adalah hutang bulan berjalan atau tahun
berjalan, adapun hutang jangka panjang tidak dapat dikurangkan nilai
bukunya.[20]
[1] Dr Yusuf Qaradhawi, Fikih Zakat, vol 1: 372-273
[2] Dr Ahmad Yusuf Duraiwisy, Ahkam As Suuq Fil Islam Wa Atsaruha Fil Iqtishod Al Islamy, 117, Dr Subhi Sholih, An Nudhum Al Islamyah, 422.
[3] Ibid, Dr Ahmad Duraiwisy, p : 110-111
[4] Ibid, vol 1 hal 257-261
[5] Dr Subhi Sholih, p : 428
[6] Keputusan Muktamar kedua Pusat kajian Islam Cairo pada poin b.
[7] Lihat Qaradhawi, fikih zakat, vol 1: 519-520
[8] Dr Husain Syahatah, At Tathbiiq al mua’shir liz zaakh, hal;203
[9] Dr Muhammad Kamal Al A’thiyyah, Dalil az Zakah, hal 22, dan Haalah Tathbiqiyyah fi muhasabati az zakah, hal 71
[10] Lihat hal itu dalam : Dr. Yusuf Qaradhawi, ibid, jld. 1, hal. 378.
[11] Ibnu Qudamah, al Mughni, ibid, jld.2, hal. 799.
[12] Dr Muhammad Ahmad Jaadu, makalah Seminar Implementasi Zakat Di Era Modern, hal, 30-31
[13] Dr Husain Syahatah, At Tathbiiq Al Mua’shir Liz Zakah, hal 203
[14] Dr Qaradhawi, Fikih Zakat, vol 1, p : 153, lihat Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, Al Mausuuah Al Fikihiyyah, vol 23, p: 242 dalam materi zakat.
[15] Ibid Mausuah Fikihiyyah, Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, vol 32 :242
[17] Ibid, vol 1 : 154, dinukil dari Ibnu Hajar, Fahul Bari, vol 3 : 189
[18] Ibid, vol 1 : 154-155
[20] Baitu Zakah, Kuwait, Muhasabah Zakat, www.alIslam.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar